MENIKAH DENGAN WANITA KRISTEN
Pertanyaan: berikut berkata si penanya; saudaraku ingin menikah dengan wanita kristen, apa hukumnya dan apa nasihat anda kepadanya?
Pertanyaan: berikut berkata si penanya; saudaraku ingin menikah dengan wanita kristen, apa hukumnya dan apa nasihat anda kepadanya?
Jawab; menikah dengan wanita kristen adalah perkara yang
diperselisihkan oleh ulama, berbeda dengan masalah menikah dengan wanita
musyrik kafir yang bukan tergolong ahlul kitab, perkara ini ada kesepakatan
dikalangan ulama bahwa hukumnya tidak boleh menikah dengannya, hal ini adalah
kesepakatan bahkan ada ijma’. Berdasarkan firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala;
{وَلَا تُمْسِكُوا بِعِصَمِ الْكَوَافِرِ} سورة
الممتحنة – 10 .
“Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan
perempuan-perempuan kafir”
(Qs. Al Mumtahanah; 10)
Perselisihannya adalah dalam masalah menikah dengan wanita
Kristen. Jumhur ulama dari kalangan Hanafiyah, Syafi’iyyah, Malikiyah dan
Hanabilah (pengikut madzhab yang empat) begitu pula sekelompok orang dari
kalangan shahabat Radhiyallahu ‘Anhu dan mereka banyak berpendapat bolehnya
seorang muslim menikah dengan wanita ahlul kitab dengan syarat wanita tersebut
muhshan (wanita baik-baik), seperti yang difirmankan Allah Subhanahu Wa
Ta’aala;
{وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُواْ
الْكِتَابَ مِن قَبْلِكُمْ إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ مُحْصِنِينَ
غَيْرَ مُسَافِحِينَ وَلاَ مُتَّخِذِي أَخْدَانٍ} سورة المائدة
– 5 .
“(Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang
menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang
menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu,
bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak
dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik” (Qs. Al Maidah; 5) dengan sifat ini, maka
boleh menikahinya.
Ibnu Umar Radhiyallahu ‘Anhu seperti yang terdapat di dalam Shahih
Al Bukhari dan sebagian fuqaha’ al hanafiyah berpendapat hal tersebut
terlarang. Ibnu Umar Radhiyallahu ‘Anhu berdalil dengan keumuman ayat yang
melarang menikahi wanita-wanita kafir diantaranya apa yang telah kami sebutkan
“Dan
janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan
perempuan-perempuan kafir”
(Qs. Al Mumtahanah; 10). Ia berkata; “Saya tidak melihat kekufuran atau kesyirikan
yang lebih dahsyat dari perkataan seorang wanita bahwa Rab-nya adalah Isa“. Ini terdapat di dalam Shahih Al Bukhari. Akan
tetapi yang benar adalah pendapat pertama berdasarkan dalil-dalil ayat,
keabsahan dan kejelasannya.
Akan tetapi saya katakan berkenaan dengan seorang lelaki mukmin,
apabila Allah Subhanahu Wa Ta’aala memudahkan baginya seorang wanita mukminah
yang wajib baginya adalah (samar) karena dikhawatirkan atas seseorang akan
tersesat dan wanita ini akan menyimpangkan agamanya. Imran bin Hitthan al
khariji adalah diantara pemimpin-pemimpin khawarij dahulu adalah seorang
ahlussunnah, dahulu ia diatas sunnah menikah dengan seorang wanita dari
kerabatnya ada yang mengatakan wanita tersebut adalah sepupunya. Wanita ini diantara
pemimpin-pemimpin khawarij. Imran berkata; Saya akan menikahinya dan
meluruskannya. Akan tetapi ketika ia menikahinya wanita tersebut malah yang
menyesatkannya sehingga Imran menjadi pemimpin khawarij yang sebelumnya ia
diatas sunnah.
Hal ini menandakan kepada kita barakallahu fiik kepada perkara
yang penting sekali. Hati-hati kita diantara jari jemari Ar-Rahman bebas Ia
membolak-baliknya. Maka seseorang seharusnya tidak merasa aman terhadap dirinya
dari fitnah. Ibrahim Alaihissalaam berkata seperti yang Allah Subhanahu Wa
Ta’aala firmankan;
{وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ
اجْعَلْ هَذَا الْبَلَدَ آمِنًا وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ أَن نَّعْبُدَ
الأَصْنَامَ} سورة إبراهيم – 35 .
“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berkata: “Ya Tuhanku, jadikanlah
negeri ini (Mekah), negeri yang aman, dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku
daripada menyembah berhala-berhala” (Qs. Ibrahim; 35)
Berkata Ibrahim At-Taimi; Siapa yang merasa aman dari bala’
setelah Ibrahim Alaihissalaam?! Maka dikhawatirkan atas seseorang bahwa wanita
tersebut akan menyesatkannya. Adapun berkenaan dengan hukum permasalahan dan
boleh tidaknya adalah seperti yang telah kami sebutkan keterangannya. Dan nasihat
untuknya hendaknya ia menjauh dari perkara seperti ini, Allah Subhanahu Wa
Ta’aala akan mencukupkan untuknya dengan wanita mukminah;
{وَلأَمَةٌ مُّؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِّن مُّشْرِكَةٍ
وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ} سورة البقرة – 221 .
“Sesungguhnya wanita budak yang mu’min lebih baik dari wanita
musyrik, walaupun dia menarik hatimu” (Qs. Al Baqarah; 221).
Dikutip
dari http://www.mimbarislami.or.id. Penulis :
Asy-Syaikh Shalih Al Fauzan, Judul Hukum Menikah Dengan Wanita Kristen
http://qurandansunnah.wordpress.com/2009/05/29/menikah-dengan-wanita-krist
Hukum Nikah Beda Agama dalam Islam dan Kristen,
Samakah?
"Cinta itu buta," begitu
kata penyair asal Inggris, William Shakespeare. Ungkapan yang sangat masyhur
itu memang kerap terbukti dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan, terkadang sampai
melupakan aturan agama. Saat ini, tak sedikit umat Muslim yang karena
"cinta" berupaya sebisa mungkin untuk menikah dengan orang yang
berbeda agama. "Tolong dibantu... Saya benar-benar serius untuk melakukan
nikah beda agama. Saya benar-benar pusing harus bagaimana lagi," tulis
seorang wanita Muslim pada sebuah laman.
Lalu bolehkah menurut hukum Islam seorang Muslim, baik pria maupun wanita menikah dengan orang yang berbeda agama? Masalah perkawinan beda agama telah mendapat perhatian serius para ulama di Tanah Air. Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam musyawarah Nasional II pada 1980 telah menetapkan fatwa tentang pernikahan beda agama. MUI menetapkan dua keputusan terkait pernikahan beda agama ini.
Pertama, para ulama di Tanah Air memutuskan bahwa perkawinan wanita Muslim dengan laki-laki non-Muslim hukumnya haram. Kedua, seorang laki-laki Muslim diharamkan mengawini wanita bukan Muslim. Perkawinan antara laki-laki Muslim dengan wanita ahlul kitab memang terdapat perbedaan pendapat. "Setelah mempertimbangkan bahwa mafsadatnya lebih besar dari maslahatnya, MUI memfatwakan perkawinan tersebut hukumnya haram," ungkap Dewan Pimpinan Munas II MUI, Prof Hamka, dalam fatwa itu.
Dalam memutuskan fatwanya, MUI menggunakan Alquran dan Hadis sebagai dasar hukum. "Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik hingga mereka ber iman (masuk Islam). Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun ia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan wanita orangorang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) hingga mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, meskipun ia menarik hatimu..." (QS: al-Baqarah:221).
Selain itu, MUI juga menggunakan Alquran surat al-Maidah ayat 5 serta at Tahrim ayat 6 sebagai dalil. Sedangkan, hadis yang dijadikan dalil adalah Sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan Tabrani: "Barang siapa telah kawin, ia telah memelihara setengah bagian dari imannya, karena itu, hendaklah ia takwa (takut) kepada Allah dalam bagian yang lain."
Ulama Nahdlatul Ulama (NU) juga telah menetapkan fatwa terkait nikah beda agama. Fatwa itu ditetapkan dalam Muktamar ke-28 di Yogyakarta pada akhir November 1989. Ulama NU dalam fatwanya menegaskan bahwa nikah antara dua orang yang berlainan agama di Indonesia hukumnya tidak sah.
Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah juga telah menetapkan fatwa tentang penikahan beda agama. Secara tegas, ulama Muhammadiyah menyatakan bahwa seorang wanita Muslim dilarang menikah dengan pria non-Muslim. Hal itu sesuai dengan surat al-Baqarah ayat 221, seperti yang telah disebutkan di atas. "Berdasarkan ayat tersebut, laki-laki Mukmin juga dilarang nikah dengan wanita non-Muslim dan wanita Muslim dilarang walinya untuk menikahkan dengan laki-laki non-Muslim," ungkap ulama Muhammadiyah dalam fatwanya.
Ulama Muhammadiyah pun menyatakan kawin beda agama juga dilarang dalam agama Nasrani. Dalam perjanjian alam, kitab ulangan 7:3, umat Nasrani juga dilarang untuk menikah dengan yang berbeda agama. "Dalam UU No 1 tahun 1974 pasal 2 ayat 1 juga disebutkan bahwa: "Pernikahan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu."
"Jadi, kriteria sahnya perkawinan adalah hukum masing-masing agama yang dianut oleh kedua mempelai," papar ulama Muhammadiyah dalam fatwanya. Ulama Muhammadiyah menilai pernikahan beda agama yang dicatatkan di kantor catatan sipil tetap tak sah nikahnya secara Islam. Hal itu dinilai sebagai sebuah perjanjian yang bersifat administratif.
Ulama Muhammadiyah memang mengakui adanya perbedaan pendapat tentang bolehnya pria Muslim menikahi wanita nonMuslim berdasarkan surat al-Maidah ayat 5. "Namun, hendaknya pula dilihat surat Ali Imran ayat 113, sehingga dapat direnungkan ahli kitab yang bagaimana yang dapat dinikahi laki-laki Muslim," tutur ulama Muhammadiyah.
Dalam banyak hal, kata ulama Muhammadiyah, pernikahan wanita ahli kitab dengan pria Muslim banyak membawa kemadharatan. "Maka, pernikahan yang demikian juga dilarang." Abdullah ibnu Umar RA pun melarang pria Muslim menikahi wanita non-Muslim.
Lalu bolehkah menurut hukum Islam seorang Muslim, baik pria maupun wanita menikah dengan orang yang berbeda agama? Masalah perkawinan beda agama telah mendapat perhatian serius para ulama di Tanah Air. Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam musyawarah Nasional II pada 1980 telah menetapkan fatwa tentang pernikahan beda agama. MUI menetapkan dua keputusan terkait pernikahan beda agama ini.
Pertama, para ulama di Tanah Air memutuskan bahwa perkawinan wanita Muslim dengan laki-laki non-Muslim hukumnya haram. Kedua, seorang laki-laki Muslim diharamkan mengawini wanita bukan Muslim. Perkawinan antara laki-laki Muslim dengan wanita ahlul kitab memang terdapat perbedaan pendapat. "Setelah mempertimbangkan bahwa mafsadatnya lebih besar dari maslahatnya, MUI memfatwakan perkawinan tersebut hukumnya haram," ungkap Dewan Pimpinan Munas II MUI, Prof Hamka, dalam fatwa itu.
Dalam memutuskan fatwanya, MUI menggunakan Alquran dan Hadis sebagai dasar hukum. "Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik hingga mereka ber iman (masuk Islam). Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun ia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan wanita orangorang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) hingga mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, meskipun ia menarik hatimu..." (QS: al-Baqarah:221).
Selain itu, MUI juga menggunakan Alquran surat al-Maidah ayat 5 serta at Tahrim ayat 6 sebagai dalil. Sedangkan, hadis yang dijadikan dalil adalah Sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan Tabrani: "Barang siapa telah kawin, ia telah memelihara setengah bagian dari imannya, karena itu, hendaklah ia takwa (takut) kepada Allah dalam bagian yang lain."
Ulama Nahdlatul Ulama (NU) juga telah menetapkan fatwa terkait nikah beda agama. Fatwa itu ditetapkan dalam Muktamar ke-28 di Yogyakarta pada akhir November 1989. Ulama NU dalam fatwanya menegaskan bahwa nikah antara dua orang yang berlainan agama di Indonesia hukumnya tidak sah.
Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah juga telah menetapkan fatwa tentang penikahan beda agama. Secara tegas, ulama Muhammadiyah menyatakan bahwa seorang wanita Muslim dilarang menikah dengan pria non-Muslim. Hal itu sesuai dengan surat al-Baqarah ayat 221, seperti yang telah disebutkan di atas. "Berdasarkan ayat tersebut, laki-laki Mukmin juga dilarang nikah dengan wanita non-Muslim dan wanita Muslim dilarang walinya untuk menikahkan dengan laki-laki non-Muslim," ungkap ulama Muhammadiyah dalam fatwanya.
Ulama Muhammadiyah pun menyatakan kawin beda agama juga dilarang dalam agama Nasrani. Dalam perjanjian alam, kitab ulangan 7:3, umat Nasrani juga dilarang untuk menikah dengan yang berbeda agama. "Dalam UU No 1 tahun 1974 pasal 2 ayat 1 juga disebutkan bahwa: "Pernikahan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu."
"Jadi, kriteria sahnya perkawinan adalah hukum masing-masing agama yang dianut oleh kedua mempelai," papar ulama Muhammadiyah dalam fatwanya. Ulama Muhammadiyah menilai pernikahan beda agama yang dicatatkan di kantor catatan sipil tetap tak sah nikahnya secara Islam. Hal itu dinilai sebagai sebuah perjanjian yang bersifat administratif.
Ulama Muhammadiyah memang mengakui adanya perbedaan pendapat tentang bolehnya pria Muslim menikahi wanita nonMuslim berdasarkan surat al-Maidah ayat 5. "Namun, hendaknya pula dilihat surat Ali Imran ayat 113, sehingga dapat direnungkan ahli kitab yang bagaimana yang dapat dinikahi laki-laki Muslim," tutur ulama Muhammadiyah.
Dalam banyak hal, kata ulama Muhammadiyah, pernikahan wanita ahli kitab dengan pria Muslim banyak membawa kemadharatan. "Maka, pernikahan yang demikian juga dilarang." Abdullah ibnu Umar RA pun melarang pria Muslim menikahi wanita non-Muslim.
Reporter : heri ruslan
|
Redaktur : irf
|
http://www.republika.co.id/berita/ensiklopedia-islam/fatwa/10/05/01/113862-hukum-nikah-beda-agama-dalam-islam-dan-kristen-samakah-
|
KEUTAMAAN
ORANG
YANG
MENGUASAI MARAH
Asbabun Nuzul
Ayat ini (QS.An-Nur:22)
berhubungan dengan sumpah Abu Bakar r.a. bahwa Dia tidak akan memberi apa-apa
kepada kerabatnya ataupun orang lain yang terlibat dalam menyiarkan berita
bohong tentang diri 'Aisyah. Maka turunlah ayat ini melarang beliau
melaksanakan sumpahnya itu dan menyuruh mema'afkan dan berlapang dada terhadap
mereka sesudah mendapat hukuman atas perbuatan mereka itu.
Sebab-sebab yang menimbulkan
kemarahan
Sebab-sebab marah antara lain
sombong, ujub, banyak bergurau, banyak berbuat yang sia-sia, menghina orang
lain, melecehkan, berdebat berlebihan, bertengkar, berkhianat, serta cinta
harta dan kedudukan. Sifat-sifat tercela inilah yang menimbulkan amarah dihati
manusia. Selama sifat ini ada dalam diri dan tidak bisa dikendalikan maka
amarahnya pun tidak dapat di hindari. Karena itulah menurut Ulama besar Sa’id
Hawwa dalam Kitab yang berhasil beliau ringkas dari kitab karya Imam
Al-Ghazasli”Ihya Ulumuddin “ bahwa untuk menghilangkan sifat-sifat tercela yang
menjadi penyebab membangkitnya amarah adalah dengan melakukan hal-hal yang
berlawanan dengannya. Misalnya sombong dihilangkan dengan tawaddu’ (rendah
hati), ujub dihilangkan dengan mengenal hakikat dirinya yang hina. Suka
membanggakan diri dihilangkan dengan mengingat asal muasal penciptaan kita
yaitu dari setetes air mani dari sari pati tanah (QS.Al-Mukminun :12-13 ).Suka
bergurau berlebihan dihilangkan dengan banyak bekerja mencari aktifitas positif
yang bermanfaat dan memperbanyak ibadah. Perbuatan sia-sia dihilangkan dengan
berakhlak mulia dan menggali ilmu agama. Suka melecehkan orang lain dihilangkan
dengan cara tidak menyakiti orang lain, mawas diri. Suka menghina orang lain dihilangkan dengan
menghindari perkataan yang buruk. Haus harta dihilangkan dengan qana’ah (merasa
puas), mensyukuri nikmat.
Dan (ingatlah juga), tatkala
Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan
menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), Maka Sesungguhnya
azab-Ku sangat pedih".(QS. Ibrahim : 7)
Keutamaan orang yang dapat menguasai
dirinya ketika marah
Seorang yang perkasa bukanlah
orang berbadan tegak, tinggi, kekar berotot baja, melainkan orang yang mampu
mengendalikan hawa nafsunya ketika ia marah, sebagaimana sabda Rasulullah
sallallahu alaihi wasallam
(Laisassyadiidu bishur’ati wa
innamas syadiidullazii yamliku nafsahu ‘indalgadhobi)
“Orang yang kuat itu bukan diukur
dengan keperkasaan fisik melainkan yang mampu mengendalikan hawa nafsunya pada
saat marah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Diriwayatkan pula dari Abu
Hurairah ra, Sesungguhnya Rasulullah sallallahu alaihi wasallam bersabda,”
Bukanlah orang yang kuat
berkelahi, melainkan yang kuat itu adalah yang mampu menguasai dirinya ketika
marah”. (Disebutkan oleh Bukhari pada kitab ke 78 kitab adab, bab ke 76 bab Waspada terhadap marah)
Diriwayatkan dari Sulaiman bin
Shurad, ia berkata, ”Ada dua orang yang saling mencaci didepan Nabi sallallahu alaihi wasallam
ketika kami sedang duduk bersama beliau. Salah satunya menghina rekannya sambil marah dengan wajah yang memerah.”
Kemudian Nabi sallallahu alaihi wasallam
bersabda,” Aku mengetahui satu kalimat yang jika ia katakan maka
hilanglah semua yang ia alami. Seandainya ia mengatakan,'Aku berlindung kepada
Allah dari godaan Syaitan yang terkutuk,'Maka mereka berkata kepada laki-laki
itu, “Tidakkah engkau mendengar apa yang Nabi sallallahu alaihi wasallam
katakan? Ia menjawab, “Aku bukanlah orang gila.” (Disebutkan oleh Bukhari pada kitab ke 78 Kitab Adab, bab ke-76 Bab
Waspada terhadap marah)
Marah
yang bukan karena Allah pasti godaan syaitan, oleh karena itu sudah seharusnya
bagi seseorang yang dikuasai amarah meminta perlindungan dengan mengucapkan,
“Audzu billahi minasyaitonirojiim”(Aku berlindung dari godaan syaitan yang
terkutuk), dan itu adalah penghilang marah. Marah itu diantara dorongan
syaitan.Orang keluar dari sifat adilnya, berbicara yang bathil, melakukan
perbuatan yang tercela, iri ,benci, dan perbuatan buruk serta tercela lain yang
lahir karena marah.
Sayyid
Quthb dalam Tafsir fi zhilalil qur'an memberikan penjelasan mengenai marah yang
terdapat dalam Surah Ali Imran : 134 (“Dan orang-orang yang menahan marahnya
dan memaafkan (kesalahan) orang.” Marah adalah perasaan manusiawi yang diiringi
naiknya tekanan darah. Marah adalah salah satu dorongan yang menjadi
kelengkapan penciptaan manusia dan salah satu kebutuhannya. Manusia tidak dapat
menundukkan kemarahan ini kecuali dengan perasaan yang halus dan lembut yang
bersumber dari pancaran taqwa, dan dengan kekuatan ruhiyah yang bersumber dari
pandangannya kepada ufuk yang kebih luas dari pada ufuk dirinya dan cakrawala
kebutuhannya.
Menahan
marah merupakan tahapan yang pertama. Namun menahan marah itu saja belum
memadai. Karena adakalanya seseorang menahan marah tetapi masih dendam dan
benci. Sehingga berubahlah kemarahannya yang meledak-ledak itu menjadi dendam
yang terpendam dan tersembunyi. Padahal kemarahan dan kemurkaan itu lebih
bersih dan suci daripada dendam dalam hati. Oleh karena itu berlanjutlah nash
ini untuk mengakhiri kemarahan dan kebencian dalam jiwa orang-orang yang
bertaqwa, yaitu dengan memaafkan, berlapang dada dan toleransi.
Kemarahan itu menyakitkan hati
ketika ditahan dan kobaran yang menghanguskan kalbu, serta asap yang menutupi
nurani. Akan tetapi ketika jiwa memaafkan dan hati mengampuni, maka lepaslah ia
dari sakit hati , mengepakkan sayap
diufuk cahaya, dingin dalam hati, dan damai dalam nurani. “ Allah menyukai
orang-orang yang berbuat kebajikan.”
Rusdianto As-Sabakany, S.Ag
“Jangan Takut Menegakkan Syariat Islam!”
Jumat, 13/05/2011 13:18 WIB | email | print Isu Negara Islam Indonesia, radikalisme, dan terorisme yang ditayangkan hampir setiap hari di media massa nasional setidaknya mampu membentuk opini di masyarakat—khususnya mereka yang awam terhadap gerakan Islam, untuk mencurigai setiap hal yang berkaitan dengan aktivitas keislaman. Di kampung-kampung, pasca hebohnya pemberitaan tentang NII, masyarakat menaruh kecurigaan terhadap gerakan-gerakan yang selama ini menuntut diberlakukannya sistem Islam dalam pemerintahan, tegaknya syariat Islam, dan menuntut dihentikannya kezhaliman global yang dipertontonkan AS dan sekutu-sekutunya. Apalagi, dalam pemberitaan selalu digambarkan bahwa mereka yang terlibat dalam NII dan terorisme menggunakan atribut-atribut seperti jilbab panjang dan bercadar bagi perempuan, celana cingkrang, berjanggut dan jidat hitam bagi laki-laki. Tak hanya itu, isu ini juga sukses membuat aktivis parpol Islam sibuk menangkis tudingan bahwa mereka bukan bagian dari NII. Klarifikasi terhadap tudingan bahwa mereka bukan bagian dari NII sah-sah saja. Tapi, setidaknya klarifikasi itu tidak diiringi dengan kata-kata yang terkesan sok dan arogan, dengan mengatakan bahwa gagasan negara Islam adalah “ide kampungan”. Katakanlah tak setuju dengan ide negara Islam atau label negara Islam, setidaknya tak perlu mengeluarkan kata-kata yang terkesan arogan dan merasa paling paham soal konsep bernegara. Apalagi, isu NII ini kuat dugaan adalah rekayasa intelijen yang ingin memberangus ide-ide Islam. Saat ini, umat dihadapkan pada elit-elit politik Islam yang terkesan mengidap inferiority complex alias minder dengan identitas Islam. Mereka selalu mengelak jika dituding ingin menegakkan syariat Islam. Seolah-olah syariat Islam adalah boomerang yang bisa menghancurkan karir politiknya, merusak reputasinya, bahkan menghambat laju popularitasnya. Islam tak lagi dianggap sebagai identitas yang menjual dalam panggung politik. Karena itu, bagi mereka politik identitas atau politik aliran sudah ketinggalan zaman. Koor ini disambut meriah oleh para politisi dan pengamat politik sekular. Gaung soal partai terbuka dianggap lebih modern dan tidak kampungan. Untuk terlihat matching sebagai partai terbuka dan modern, acara-acara pun diselenggarakan di hotel-hotel mewah. Logika sederhana mengatakan, di tengah umat yang dihimpit oleh kemiskinan, apakah pantas mengadakan acara bermegah-megahan? Atas nama persatuan dan kesatuan, siasat politik dan toleransi, banyak elit-elit politik Islam yang menghindar jika dituding sebagai bagian dari kelompok yang mempunyai agenda penegakkan syariat Islam dalam konteks berbangsa dan bernegara. Seolah-olah “cap” sebagai penegak syariat akan melunturkan citra politiknya dan membuatnya terasing dari pentas politik. Terkait dengan hal ini, Allahyarham Mohammad Natsir, tokoh Partai Masyumi, menyatakan, “Orang yang tidak mau mendasarkan negara itu kepada hukum-hukum Islam dengan alasan tidak mau merusakkan hati orang yang beragama Islam, sebenarnya (dengan tidak sadar atau memang disengaja) telah berlaku zalim kepada orang Islam sendiri yang bilangannya di Indonesia 20 kali lebih banyak, lantaran tidak menggugurkan sebagaian dari peraturan-peraturan agama mereka (agama Islam). Ini berarti merusakkan hak-hak mayoritas, yang sama-sama hal itu tidak berlawanan dengan hak-hak kepentingan minoritas, hanya semata-mata lantaran takut, kalau si minoritas itu “tidak doyan”. Ini namanya “staatkundige”, demokrasi tunggang balik.” Nasehat bagi mereka yang “takut atau terkesan malu-malu” untuk menegakkan syariat Islam juga disampaikan Buya Hamka. Dalam Tafsir Al-Azhar, Hamka menyatakan, “Sebagai Muslim, janganlah kita melalaikan hukum Allah. Sebab, di awal surah Al-Maaidah sendiri yang mula-mula diberi peringatan kepada kita ialah supaya menyempurnakan segala ‘uqud (janji). Maka, menjalankan hukum Allah adalah salah satu ‘uqud yang terpenting diantara kita dengan Allah. Selama kita hidup, selama iman masih mengalir di seluruh pipa darah kita, tidaklah boleh sekali-kali kita melepaskan cita-cita agar hukum Allah tegak di dalam alam ini, walaupun di negeri mana kita tinggal. Moga-moga tercapai sekadar apa yang kita dapat capai. Karena Tuhan tidaklah memikulkan beban kepada kita suatu beban yang melebihi dari tenaga kita. Kalau Allah belum jalan, janganlah kita berputus asa. Dan kufur, zalim, fasiklah kita kalau kita pecaya bahwa ada hukum yang lebih baik daripada hukum Allah. Jika kita yang berjuang menegakkan cita Islam ditanya orang, ‘Adakah kamu, hai umat Islam bercita-cita, berideologi, jika kamu memegang kekuasaan, akan menjalankan hukum syariat Islam dalam negara yang kamu kuasai itu? Janganlah berbohong dan mengolok-olokkan jawaban. Katakan terus terang, bahwa cita-cita kami memang itu. Apa artinya iman kita kalau cita-cita yang digariskan Tuhan dalam Al-Qur’an itu kita pungkiri? Dan kalau ditanya orang pula, tidaklah demikan dengan kamu hendak memaksakan agar pemeluk agama lain yang digolongkan kecil (minoritas) dipaksa menuruti hukum Islam? Jawablah dengan tegas, “Memang akan kami paksa mereka menuruti hukum Islam. Setengah dari hukum Islam terhadap golongan pemeluk agama yang minoritas itu ialah agar mereka menjalankan hukum Taurat, ahli Injil diwajibkan menjalankan hukum Injil. Kita boleh membuat undang-undang menurut teknik pembikinannya, memakai fasal-fasal dan ayat suci, tapi dasarnya wajiblah hukum Allah dari Kitab-kitab Suci, bukan hukum buatan manusia atau diktator manusia. Katakan itu terus terang, dan jangan takut! Dan insflah bahwa rasa takut orang menerima hukum Islam ialah karena propaganda terus menerus dari kaum penjajah selama beratus tahun. Sehingga, orang-orang yang mengaku beragama Islam pun kemasukan rasa takut itu…” (Hamka, Tafsir Al-Azhar, Juz 6) Demikian nasihat M Natsir dan Buya Hamka. Sebagai umat Islam, apalagi aktivis partai Islam, kita harus percaya diri bahwa Islamlah yang cukup dan cakap sebagai aturan dalam mengelola bangsa ini. Apalagi, cita-cita para as-saabiqunal awwalun bangsa ini dalam memerdekaan negeri ini adalah agar hukum Islam bisa ditegakkan, bukan hukum buatan manusia apalagi hukum buatan kolonial. Cita-cita menegakkan Islam harus terus disuarakan dan diperjuangkan. Karena, perjuangan menegakkan syariat Islam adalah perjuangan akidah, bukan perjuangan tawar menawar yang bisa dikompromikan. “Adalah satu hal yang sangat tidak bisa diterima akal; mengaku diri Islam, mengikut perintah Allah dalam hal sembahyang (shalat) tetapi mengikuti teori manusia dalam pemerintahan…” demikian ujar Buya Hamka. (aw) http://www.eramuslim.com/berita/tahukah-anda/pesan-buya-hamka-dan-m-natsir-jangan-takut-menegakkan-syariat-islam.htm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar